DAFTAR ISI
JUDUL……………………………………………………………………………
1
DAFTAR
ISI………………………………………………………………….….
2
BAB
I
PENDAHULUAN………………………………………………………………. 3
BAB
II
PERMASALAHAN
A.
Apa Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional………………….
5
B.
Apa Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional…………………… 5
C.
Bagaimana Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara……………………………..………………………… 5
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional……………………...… 6
B.
Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional………………………… 6
C.
Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi
Wawasan Nusantara……………………..……………..…………………… 14
BAB
III
KESIMPULAN………………………………………………………………….
18
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah perbatasan
wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan
nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai
persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina
dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai
masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah
negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya
yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya
masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara
Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah
Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan
kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum
membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta
implementasi wawasan nusntara, ada baiknya kita kilas balik mengenai
masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional
telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah
Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud
kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan
pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar
sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia
hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain,
Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang
dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis
paralel 4º 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil
dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional
pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah
juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua
pulau tersebut berdasarkan “chain of title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan
Sulu).
Hampir tidak dapat
dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan
oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan
hasil seperti yang kita harapkan bersama.
Suatu fakta penting
yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan
Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik
terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan
dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa
pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka
hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus
untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional,
yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah
Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan
mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan
dan Ligitan)
Belajar dari
masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep
kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan Wawasan Nusantara serta
implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk
menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh
yang terbentang dari ujung barat, sabang ke ujung timur, merauke.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Apa
Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional ?
2.
Apa Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional ?
3. Bagaimana
Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan
Nusantara ?
BAB III
PEMBAHASAN
Menilik semua
permasalahan diatas semua berawal dari konsep dan implementasi dari wawasan
nusantara. Dalam rangka menerapkan wawasan nusantara, kita sebaiknya terlebih
dahulu mengerti dan memahami pengertian ,ajaran dasar, hakikat ,asas, kedudukan
dan fungsi serta tujuan wawasan nusantara.
A. Pengertian
dan Sejarah Singkat Timbulnya Wawasan Nusantara
1. Pengertian Wawasan
Nusantara
Istilah wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti
pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi.
Istilah wawasan berarti
cara pandang, cara tinjau, atau cara melihat.Sedangkan istilah nusantara
berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati
diapit di antara dua hal.
Secara
unum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri
dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu
sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau
cita-cita nasionalnya.
Wawasan
nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri
dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan
geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan
dan cita-cita nasionalnya.
B.
Kaitan Kasus Ambalat
dengan Wawasan Nusantara
Indonesia sebagai
sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan
memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta
kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik
yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan
bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara
serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan
daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini
yaitu sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah
perbatasan di wilayah Ambalat.
Adapun
latar belakang yang memunculkan masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi
eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan
Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh
perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari
2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas
sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan
East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak
eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan
421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
Pemberian konsesi
minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di
Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun
1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. dan menurut Marty
Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas
penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia
Tenggara,".Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan
tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri telah memberikan konsesi
minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun
1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara lain. "Karena memang
dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty.
Malaysia semula
mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas
pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya
sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah
"dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik
awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik,
Kaltim.
Salah satu bukti
kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang
Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan
pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal
selama ini Karang Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut
kontan ditolak Indonesia. Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya
berhak atas 12 mil dari garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut
diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau status Indonesia sebagai negara
kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
Kontan saja, tindakan
sepihak ini menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat
Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras
untuk melakukan perang terbuka.
Tindakan pemerintah
Malaysia yang mengklaim blok perairan Ambalat sebagai wilayah teritorial
negaranya telah memicu sikap dan tindakan "reaksi" dari berbagai
komponen masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap
mengikrarkan diri sebagai korps sukarelawan apabila konflik klaim wilayah
perairan Ambalat termanifestasi menjadi perang terbuka. Perasaan sakit hati
masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi
kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai kebijakan pemerintah
Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan martabat bangsa lain
(khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia lebih
banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia
sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau
Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun
2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus
Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan diplomatik antara
Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia kasus
klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh
dalam sengketa politik tersebut.
Ada beberapa sikap
masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama,
sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh
kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit
hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini
ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia".
Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat
sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan
sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap
ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan
kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim
teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia.
Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan
Oleh berbagai komponen
gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan
harga diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik
neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang
terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut
dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya
merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang
terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi
sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara
perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak
dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL
(Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah
Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,
yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat
politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan
"pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk
memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat.
Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan
kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik
intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik
melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan
kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak
akhir kekuasaan Orde Baru.
Sikap masyarakat
Indonesia sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan
masih belum hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia tidak pernah
berniat baik dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan negara
tetangga. Sikap arogansi Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya peta
wilayah buatan Malaysia tahun 1979 secara sepihak dan dengan gampangnya
memasukkan wilayah negara lain sebagai wilayahnya, seperti wilayah Indonesia,
China, Filipina, Thailand, Vietnam, serta Inggris yang mengatasnamakan Brunei
Darussalam.
Sebagaimana Indonesia,
negara-negara yang wilayahnya diklaim oleh Malaysia melakukan protes keras.
Ironisnya, hingga saat ini pihak Malaysia belum menuntaskan masalah ini secara
penuh. Padahal, klaim suatu wilayah secara sepihak tidak dibenarkan oleh ketentuan
internasional sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional (UNCLOS
1982).
Dengan kata lain,
apabila suatu wilayah negara pantai berhadapan (opposite) atau berdampingan
(adjacent) dengan negara lain, maka negara tersebut harus melakukan perundingan
untuk mencapai persetujuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keputusan
Mahkamah Internasional 18 Desember 1951 dalam kasus perikanan atau yang dikenal
dengan Anglo norwegian fisheries case antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus
itu disebutkan, bahwa delimitasi batas wilayah laut tidak hanya bergantung pada
kehendak sepihak satu negara pantai saja yang dituangkan dalam undang-undang
nasionalnya, melainkan keabsahannya delimitasi batas wilayah laut harus
didasarkan pada hukum internasional.
Sementara itu yang
patut diingat dalam menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di samping show
of force militer, Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu
secara diplomatik agar tidak kembali menelan kekalahan seperti dalam
persidangan kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan
wilayah kita yang disatukan oleh lautan kembali terlepas dari pangkuan Ibu
Pertiwi?
Perjuangan Indonesia
untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan
panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk
memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun
1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan.
Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan,
kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya
negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah
laut.
Mochtar Kusumaatmadja
(2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan
dengan prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara
tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya,
termasuk Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan
pemasangan kabel komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan
kegiatan perikanan di Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara
maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan
ini termasuk negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan
maju. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap
strategi militer, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara itu jauh
sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara
pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang
wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda.
Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan
Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil.
Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang
menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau
Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat
Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam
perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan
pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin
negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh
rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara
terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan.
Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam
rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi
Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP
MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan
kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi
yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi
disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan
garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan
dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian
menggunakan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baseline)
dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke
selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
Dengan dasar itu,
materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia merupakan
negara kepulauan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi
yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang
terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan,
bahwa yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan
yang saling bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah
lainnya dalam pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan
intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang
dipandang sebagai demikian (Pasal 47). Dengan demikian, Malaysia tidak
dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan karena mereka tidak
berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain itu, klaim
Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf)
yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah
daratannya sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak
200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena
Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis
pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian
utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.
C. Hikmah dan
Solusi Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi Wawasan
Nusantara
Lepasnya Sipadan dan
Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara
hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas
terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan
mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut
(KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara
Kapulauan(Archipelagic States) Indonesia telah meratifikasi KLH
1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun, ratifikasi KLH
1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah
tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan
nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia,
karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan
dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam
Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara
kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak
deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan
eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh
rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan
tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara kepulauan"
Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan
tegaskan baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok
Ambalat adalah milik Indonesia.
Pengaturan masalah
kelautan bagi pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan
mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara
kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal
tersebut sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah
Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas
laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale
Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939) Pasal 1 ayat 1
tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik
Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau
serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang
bulat.
Untuk mewujudkan
tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi
Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara
menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk
memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat
internasional.
Deklarasi Juanda 1957
mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya
terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand
dengan menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara.
Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya
Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan
orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi
negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land based
oriented)yang mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa
orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national
security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan
kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos
pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya
sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem
peringatan dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan,
Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan
orientasi ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi
sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah
dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam
PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara
bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme
regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme
regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya
seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai
batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan
bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development,
di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989,
setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis
batas dengan Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint
development dengan melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang
disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian
dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan,
kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita
cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer
persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan
ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan demikian,
dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat
tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesia diperkuat
oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam
wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera
ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No
38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan
wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat mempertahankan
kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
Persengketaan
atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa
merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi
kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa
RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas
wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai.
Sebuah sentilan
mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat, harusnya
menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional yang
merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia.
Berkaitan dengan
masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan
solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap
warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1.
Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta
hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang
cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2.
Mengerti, memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan
kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar
sebagai earga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan
tujuan nasional
Indonesia harus lebih
jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan
tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia
harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan
satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaan.
BAB IV
KESIMPULAN
Suatu bangsa yang telah
mendirikan suatu negara, dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan timbal balik antara
filosofis bangsa kita, ideologi, aspirasi serta
cita-cita dan kondisi sosial masyarakat, budaya, tradisi, keadaan alam, wilayah
serta pengalaman sejarahbangsa Indonesia .Pemerintah dan rakyat memerlukan suatu
konsep berupa wawasan nusantarauntuk menyelenggarakan
kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup Negara kesatuan
republic Indonesia ,
keutuhan wilayah serta jati diri bangsaIndonesia. Kehidupan suatu bangsa dan negara
senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis. Karena itu,
wawasan itu harus mampu memberi inspirasi bangsa Indonesiadalam menghadapi berbagai hambatan dan
tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dan dalam mengejar
kejayaannya
Negara Indonesia adalah
negara yang solid terdiri dari berbagai suku dan bangsa, terdiri dari banyak
pulau-pulau dan lautan yang luas. Jika kita sebagai warga negara ingin
mempertahankan daerah kita dari ganguan bangsa/negara lain, maka kita harus
memperkuat ketahanan nasional kita. Ketahanan nasional adalah cara paling
ampuh, karena mencakup banyak landasan seperti : Pancasila sebagai landasan
ideal, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan Wawasan Nusantara sebagai
landasan visional, jadi dengan demikian katahanan nasional kita sangat solid.
Daftar
Pastaka
No comments:
Post a Comment